Jumat, 21 Agustus 2009

Coalbed Methane

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai oleh sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam konvensional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoirnya. Sedangkan gas alam yang kita kenal saat ini, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara enambangannya dimana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan. Pengertian reservoir batubara masih baru dalam dunia perminyakan di CBM berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui beberapa proses kimia dan fisika (dalam bentuk panas dan tekanan secara menerus) yang berubah menjadi gambut dan akhirnya terbentuk batubara. Selama berlangsungnya proses pemendaman dan pematangan, material organik akan mengeluarkan air, CO2, gas metana dan gas lainnya. Selain melalui proses kimia, CBM dapat terbentuk dari aktifitas bakteri metanogenik dalam air yang terperangkap dalam batubara khususnya lignit.
CBM diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan kesetimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.
CBM mempunyai multi guna antara lain dapat dijual langsung sebagai gas alam, dijadikan energi dan sebagai bahan baku industri. Eksploitasi CBM tidak akan merubah kualitas matrik batubara dan menguntungkan para penambang batubara, karena gas emisinya telah dimanfaatkan sehingga lapisan betubara tersebut menjadi aman untuk di tambang, selain itu CBM ini termasuk salah satu sumber energi yang ramah lingkungan.
Rekomendasi Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan prioritas oleh Stevens et al. (2001) & Migas dan ADB, (2003). Penelaahan untuk menambah tingkat kepercayaan dilakukan dengan memperhatikan infrastruktur (jaringan pipa distribusi); Kedekatan pasar dan besaran cadangan harapan yang telah dihitung sebelumnya. Mengesampingkan daerah Kalimantan Timur (ranking ke 3), karena akan terkendala dengan pasar yang masih cenderung bagaimana dengan pasokan gas alam konvensional. Problemnya adalah menentukan spot yang ideal untuk uji-coba.
Sebelum dilakukan uji-coba, telah dilakukan uji kelayakan. Lapangan Rambutan dengan jumlah 26 sumur melingkupi area seluas 4400 acre dengan vertical closure sekitar 300 feet. Secara umum Cekungan Sumatera Selatan dimana Lapangan Rambutan berada terbentuk pada siklus trangresiregresi pada pembentukan sedimen tersier pada permukaan pra-Tersier (batuan beku dan metamorphic). Formasi Pelembang Bawah (ekuivalen Formasi Airbenakat) mulai terendapkan diatas Formasi Telisa (ekuivalen Formasi Gumai) sebagai sedimen delta front, karena regresi terus berlanjut hingga terbentuk lingkungan delta plain pada Formasi Palembang Tengah (ekuivalen Formasi Muaraenim).
Pada formasi ini telah diendapkan sedimen-sedimen crevase plays, marsh dan point bars. Marsh diwakili oleh lapisan batubara yang tebal, menutupi area sebelum sedimen berubah menjadi lingkungan teluk.
Bagian paling atas sedimen Neogene Tengah di daerah Rambutan diendapkan Formasi Palembang Atas dari pada lingkungan marshy dimana batubara mendominasi periode ini. Sesudah itu secara gradual lingkungan berubah dari brackish ke kondisi non-marine. Mudstone, clay dan loose, butir-butir pasir halus sampai kasar dari Miocene paling atas terendapkan.
Pemilihan lokasi uji-coba dilakukan berdasarkan penilaian terhadap aspek teknis dan non-teknis yaitu:
• Aspek Teknis meliputi hasil kajian terdahulu (Stevens et al. 2001, Migas & ADB, 2003); hasil survey pendahuluan menunjukkan lapisan batubara di Lapangan Rambutan memenuhi kriteria sebagai lapangan CBM seperti: penyebaran batubara, ketebalan lapisan dan kedalaman yang ideal; Data gas reading dari sumur-sumur di Rambutan menunjukkan rata-rata bagus (> 200 unit) dan jarak antar sumur cukup ideal untuk uji-coba.
• Aspek Non-Teknis didasarkan atas komitmen PT. MEPI untuk mendukung program pemerintah meningkatkan cadangan energi nasional; melanjutkan penelitian dan pengembangan CBM di Rambutan.
Konsentrasi kegiatan dipusatkan untuk menyelesaikan beberapa program yang tersisa seperti (a) Melanjutkan pemboran 4 sumur uji tambahan dan analisis karakteristik reservoir (2005) (b) Membangun fasilitas permukaan untuk 5sumur (2006) seperti ditunjukkan pada bagan Gambar 9; c)M e l a k u k a n perekayasaan reservoir CBM melalui proses dewatering (2006 - 2007),(d) Testing sumur dan m e n g h i t u n g cadangan terbukti di Lapangan Rambutan (2007) dan (e) Menyelenggarakan sosialisasi hasil uji-coba
(http://www.lemigas.esdm.go.id/?q=node/371)

Apakah CBM Itu?
BATUBARA merupakan salah satu sumber energi tak terbarukan yang banyak terdapat di dunia, termasuk Indonesia. Batubara memiliki lapisan-lapisan berisi gas alam dengan kandungan utamanya metana atau methane (CH4) yang disebut CBM. CBM tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar.
CBM terbentuk bersama air, nitrogen dan karbondioksida ketika material tumbuhan tertimbun dan berubah menjadi batubara karena panas dan proses kimia selama waktu geologi yang sering disebut dengan coalification.
Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada kedalaman dan kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam dari permukaan tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya, semakin tinggi nilai energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula kandungan CBM. Secara umum, lapisan batubara bisa menyimpan gas metana sebesar 6 - 7 kali lebih banyak daripada jenis batuan lain dari reservoir gas.

Gas CBM yang dilepaskan ke udara, dari penambangan batubara, merupakan gas penyerap radiasi infra merah yang kuat dan merupakan gas penyebab efek rumah kaca (Green House Gas). Gas CBM ini ikut berperan dalam menambah kekuatan radiasi infra merah, yang saat ini telah bertambah sekitar 15 persen pada atmosfer bumi.
Dengan berat yang sama, gas metana, sebagai komponen utama CBM, yaitu sekitar 95 persen, merupakan molekul yang memberikan radiasi 70 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida, tetapi efek yang ditimbulkannya relatif lebih pendek yaitu sekitar 8-12 tahun di atmosfir (sekitar 5 persen dari efek radiasi dari karbondioksida). Dengan kata lain, pengurangan emisi gas metana akan mempunyai manfaat dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Cadangan CBM, berdasarkan Data Bank Dunia, diperkirakan mencapai 453 TSCF dengan konsentrasi potensi terbesar terletak pada dua pulau yaitu Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimanan antara lain di Kalimantan Timur (Berau 8,4 TSCF , Pasir/Asem 3 TSCF, Tarakan 17,5 TSCF, dan Kutai 80,4 TSCF), Kalimantan Tengah Kabupaten Barito 101,6 TSCF, dan Sumatera Tengah 52,5 TSCF, Sumatera Selatan 183 TSCF; dan Bengkulu 3,6 TSCF, sisanya terletak di Jatibarang (Jawa Barat) 0,8 TSCF dan Sulawesi 2 TSCF.
Besarnya perkiraan cadangan CBM telah mendorong beberapa pihak terkait untuk mengembangkannya sebagai bahan bakar alternatif, melalui pemboran sumur pertama, yang dilakukan pada tahun 2005, pada kedalaman 600 meter di Lapangan Rambutan, Pendopo, Sumatera Selatan.
Pengeboran itu merupakan kelanjutan kerjasama Balitbang ESDM yang diwakili oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas (Lemigas) dengan Medco Eksplorasi dan Produksi Indonesia (MEPI). Berikutnya, tahun 2006 dilakukan pemboran 3 sumur dan pada tahun 2007 direncanakan pemboran sebanyak 5 sumur untuk mengetahui cadangan pasti CBM di Lapangan Rambutan.
Keseriusan pemerintah dalam pengembangan CBM ini terlihat dari usahanya mendorong PGN untuk bekerjasama dengan Sojitz Corporation dalam pengembangan CBM di areal pertambangan batubara Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dengan kerjasama komersialisasi antara PGN dengan Sojitz, diharapkan PGN dapat memenuhi kebutuhan gas domestik dengan CBM di Sumatera Selatan yang dialirkan melalui pipa South Sumatra-West Java (SSWJ).
Pada saat ini Indonesia belum pernah memproduksi CBM, sehingga belum bisa dipastikan berapa biaya produksinya. Sementara itu, CBM telah banyak dikembangkan, umumnya digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit listrik. Beberapa negara telah memanfaatkan CBM seperti Amerika, Rusia, China dan Australia.
Pengembangan teknologi untuk mengekstrak sumber energi ini, pertama kali dilakukan di Alabama dan Colorado Selatan pada akhir tahun 1980. Berdasarkan pengalaman yang telah mereka peroleh, banyak hal yang bisa kita pelajari dan persiapkan baik secara teknik, biaya hingga dampak yang ditimbulkan, terutama terhadap lingkungan, jika sumber energi ini akan dikembangkan lebih jauh lagi di Indonesia. (persda network/domuara damians ambarita)


Hampir semua tambang dalam batubara (tidak hanya di Cina) memiliki problem dengan gas beracun (toxic) seperti CH4, H2S, CO dll yg secara alami terbentuk dan terperangkap dalam lapisan batubara selama proses pembatubaraan. Jika sistem ventilasi dan faktor keselamatan kerja lainnya berjalan baik, tentu gas-gas beracun tadi bisa dikelola sehingga tidak menimbulkan ledakan atau keracunan yg membahayakan manusia.
Sebagai tambahan, gas CH4 (metan) yang dikeluarkan akibat penambangan batubara, baik terbuka maupun tambang dalam, berpotensi 20 kali lipat sebagai kontributor efek rumah kaca dibanding CO2 sehinga sudah sejak beberapa waktu terakhir menjadi topik yang serius. Gas metan terbebaskan ke atmosfer bukan hanya pada saat batubara ditambang, namun juga pada saat diangkut dan diproses, tentu dalam kuantitas yg berbeda-beda. Di sisi yang lain, gas metan ini sebenarnya bias dimanfaatkan/memiliki nilai ekonomis jika bisa dikelola terutama pada tambang dalam selain tentunya yang utama demi keselamatan & kesehatan kerja dimana kandungan metan menurut standar di banyak negara harus dibawah 1% per satuan volume wilayah kerja. Seperti kata Pak Yudi, bukan karena beracun, namun karena mudah meledak dan terbakar.
Di Amerika Utara dan Australia, kalau tidak salah dimotori oleh AngloCoal (AngloAmerica), pemanfaatan gas metan dari kegiatan tambang dalam, sering disebut Coal Mine Methane (CMM), sudah berlangsung sejak beberapa tahun kebelakang. Penelitiannya tidak hanya didorong oleh departemen pertambangan dan energi setempat tapi juga oleh badan pengelola lingkungan (EPA) sehingga percepatan pengembangannya cukup mengesankan. Insentif yang diberikan pemerintah biasanya cukup menarik, misalnya dengan membebaskan pajak perusahaan sebesar biaya pengembangan dan penerapan CMM secara bertahap hingga proses ini mulai memberikan keuntungan.
Jika dari hasil eksplorasi memang diketahui ada potensi gas metannya, secara garis besar ada 2 cara ekstraksi CMM pada kegiatan tambang dalam batubara. Yang pertama adl sebelum tambang (pre-mining) dimana gas metan diekstraksi melalui pemboran vertikal dr permukaan maupun horizontal pada lorong kemajuan tambang. Keduanya menghasilkan gas metan yang "bersih" dan layak untuk langsung diinjeksikan ke jaringan pipa gas setempat untuk dijual/digunakan. Batubara yang kemudian ditambang dari lapisan yg sudah diekstraksi metan-nya sama sekali tidak terpengaruh dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Cara kedua adalah stlh tambang (post-mining), yakni setelah batubara ditambang. Untuk metoda penambangan longwall, debris dari atap (roof) akan ambruk mengisi kekosongan akibat hilangnya lapisan batubara setelah penambangan dan meninggalkan area yg disebut goaf (gob). Gas metan yang terperangkap dalam goaf/gob ini kemudian diekstraksi dgn pemboran horisontal lewat lorong terdekat atau vertikal dari permukaan. Saya belum pernah melihat ekstraksi gas metan pada metoda penambangan bord and pillar namun menurut apa yang benar saya baca/dengar, mereka mengekstraksi gas ini lewat sistem ventilasi. Cara kedua ini kadang meski masih bisa mendapatkan gas metan yang "bersih" dan bisa diinjeksikan langsung ke jaringan pipa terdekat, namun seringnya sudah bercampur dengan gas lain pada goaf/gob sehingga perlu proses pemisahan lanjut.
Target CBM adalah lapisan batubara yang belum tersingkap, kalau tidak salah di kedalaman di bawah 300 meter target eksplorasi sudah bisa ditentukan. Di Sumatera selatan kemungkinan besar ada di sayap-sayap antiklin formasi muara enim yang ditutupi endapan yang lebih muda di atasnya. Yang menarik dari CBM, batubara bertindak sebagai source sekaligus reservoir seperti yang disadur oleh Pak Slamet dan Pak Yudi. Cekungan tempat pembentukan batubara Formasi Muara Enim sangat luas sehingga potensi diperkirakan sangat besar. Batubara tidak ekonomis kalau ditambang dengan Overburden lebih dari 300 meter, lagipula sangat berbahaya karena gas yang ada sering menimbulkan ledakan seperti di tambang-tambang batubara bawah tanah di China. Sebagai tambahan, Nilai kalori batubara muara enim berkisar 4000 – 5000 Kcal/kg dengan kadar kandungan air/Total Moisture yang tinggi (>40%).

CBM (Coal Bed Methane) adalah gas metana yang dihasilkan selama proses pembatubaraan dan (tetap) terperangkap dalam batubara. Gas tersebut dapat terbentuk secara biogenic maupun thermogenic (dalam eksplorasi cbm yang dicari adalah thermogenic). Ciri fisiknya gas ini: tak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, tapi ketika bercampur dengan udara bisa tiba-tiba meledak.
Dalam klasifikasi energi, cbm termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas, devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas. Salah satu tantangan dalam unconventional energy adalah ekstraksinya yang semakin.
Kuantitas cbm berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminus rank, lalu berkurang hingga anthracite. Jadi, dari low rank coal pun sudah punya cbm (umumnya kualitas batubara di negri kita adalah low rank dan ini yang bikin menarik). Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.
Pada prinsipnya, sejumlah banyak cbm tersimpan dalam coal matrix secara adsorption, yang arti mudahnya adalah 'gas menempel di dalam pori-pori coal matrix' (ada juga sih cbm sebagai free gas atau gas yang tidak menempel pada coal matrix). Cara terkandungnya cbm ini berbeda dengan cara tersimpannya conventional gas. conventional gas tersimpan secara compressed (sebenarnya sama saja dengan free gas). Jadi, lapisan batubara pada target eksplorasi cbm selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock (tidak ada migrasi seperti pada conventional gas).
Cbm bisa keluar (desorption) dari coal matrix melalui cleat (bidang rekahan) dengan merendahkan pressure (air) pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas cbm yang tersimpan dalam coal matrix terhadap pressure dinamakan Kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan pressure). Pressure tersebut direndahkan dengan cara memompa air (dewatering). Jadi, sejumlah banyak air juga akan diproduksikan dan ini menyebabkan kalau bermain di cbm memiliki environmental challenge, karena akan kemanakah sang air ditempatkan?
Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 indonesian coal basin, urutan rangkingnya: 1) Sumsel (183 Tcf), 2) Barito (101.6 Tcf), 3) Kutai (80.4 Tcf), 4) Sum-Tengah (52.5 Tcf)…. hingga yang paling bontot adalah Bengkulu (3.6 Tcf). Dengan kata lain resources cbm di sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.
Ada beberapa hal menarik lainnya:
a. Jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir cbm (coal) pada kedalaman, pressure, dan volume batuan yang sama, maka volume cbm bias mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas, atau cbm menarik secara volumetrik.
b. Akibat prinsip terkandungnya cbm adalah adsorption pada coal matrix, maka dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena cbm bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Katakan saja seperti ada gula ada semut, maka ada batubara ada cbm. kalau ada batubara di PutuSibau, Kalbar maka cbm-nya bakalan ada, hanya saja berapakah total gas in-place nya? atau pertanyaan berikutnya adalah Sang Batubara itu terletak pada depth berapa?, (total) ketebalannya berapa?, struktur geologinya bagaimana dan kualitas batubaranya gimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar