Jumat, 21 Agustus 2009

CBM Sebagai Sumber Energi Alternative

CBM Sebagai Sumber Energi Alternative

Indonesia memiliki cadangan coalbed methane (CBM) yang cukup besar yaitu sekitar 350-400 triliun cubic feet (TCF) atau ketujuh di dunia. Cadangan itu tersebar di berbagai cekungan yang ada. Potensi sumberdaya yang begitu besar ini seharusnya dikembangkan menjadi salah satu sumber energi alternatif pengganti BBM.
Menurut Ketua IATMI, Kun Kurnely, karena potensi cadangannya besar, Ikatan Ahli Teknik Minyak Indonesia (IATMI) berinisiatif mempromosikan CBM sebagai sumber energi alternative. CBM adalah gas methane (CH4) yang terperangkap dalam microcope atau pori-pori batubara melalui proses biogenic.
Selama ini, CBM belum dimanfaatkan bahkan dianggap sebagai masalah yang mengganggu dan berbahaya bagi industri pertambangan batubara. Di dunia sendiri, meski CBM sudah cukup lama dikenal, namun sumberdaya gas batubara ini baru dieksploitasi dan diproduksi dalam jumlah besar oleh perusahaan-perusahaan besar di Amerika dan Australia baru pada tahun 1980-an. Sedangkan China saat ini sedang mengembangkannya.
Mengenai masalah regulasi soal CBM ini, menurut Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan perangkat regulasinya. Karena pemanfaatan- nya lebih dekat ke sektor migas, regulasi soal CBM akan menggunakan regim migas. ”Kita tengah siapkan aturan mainnya, termasuk insentif agar investor tertarik berinvestasi.”
Soal pengusahaannya, jika cadangan CBM terdapat di wilayah kontrak migas atau kontrak pertam- bangan, maka akan ditawarkan lebih dulu kepada kontraktor migas atau kontraktor pertambangan yang bersangkutan. Tetapi jika cadangannya berada di wilayah kosong, maka akan dilakukan tender.
CBM sebagai alternatif energi siap meramaikan kebutuhan sumber energi alternatif yang jumlahnya akan sangat besar di dalam negeri dan luar negeri. CBM disamping biofuel mau tidak mau, suka atau tidak suka memang harus diimplementasikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Hal ini bila melihat data yang menunjukkan makin merosotnya bahan bakar fosil. Data-data tersebut , pertama, setelah mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, produksi minyak Indonesia terus menurun, dari hampir 1.6 juta barel/hari saat ini hanya 1.2 juta barel/hari. Kedua, Pertumbuhan konsumsi energi dalam negeri yang mencapai 10% per tahun dan ketiga, kecenderungan harga minyak dunia yang terus meningkat setelah krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1998.
Sedangkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil setidaknya memiliki tiga ancaman serius, yakni: Pertama, menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui. Kedua, kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan Ketiga, polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Kadar CO2 saat ini disebut sebagai yang tertinggi selama 125,000 tahun belakangan.
Bila ilmuwan masih memperdebatkan besarnya cadangan minyak yang masih bisa dieksplorasi, efek buruk CO2 terhadap pemanasan global telah disepakati hampir oleh semua kalangan. Hal ini menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Menurut tataan stratigrafi regional (Gafoer dkk., 1994), cekungan tersebut dapat dibagi menjadi tujuh formasi, dari tua ke muda adalah Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai (Gambar 14-2 dan 14-3).
Formasi Kikim merupakan batuan alas yang berupa lava andesit berwarna abu-abu, berasal dari hasil kegiatan gunungapi, diendapkan di lingkungan darat.
Formasi Talangakar berupa batulempung dan batupasir. Lapisan batupasir lebih berkembang di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama didominasi oleh batulempung. Batulempung biasanya berwarna abu-abu sampai abu-abu tua, kadang-kadang lanauan serta mengandung fosil moluska, kepingan koral, sisa tumbuhan, dan keratan batubara. Batupasir pada umumnya berwarna abu-abu, berbutir halus hingga kasar, mengandung moluska, serpihan batubara, dan damar. Formasi ini mempunyai ketebalan sekitar 75 m, ditindih selaras oleh Formasi Baturaja, dan diendapkan di lingkungan darat hingga laut dangkal, yaitu di laguna (Nichols, 1989).
Formasi Baturaja terdiri atas batugamping dengan sisipan napal dan batulempung. Batugamping tampak berwarna abu-abu terang hingga putih keabu-abuan dan terdiri atas batugamping pejal dan batugamping berlapis. Formasi ini berketebalan mencapai 85 m dan ditindih selaras oleh Formasi Gumai. Lingkungan pengendapan batuan berhubungan dengan laut yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu, yaitu laut dangkal dengan kondisi air yang jernih dan hangat (Walker, 1992).
Formasi Gumai terdiri atas batupasir dan batulempung yang membentuk perlapisan selang-seling dengan ketebalan berkisar antara 20-80 cm, namun di beberapa tempat dijumpai selang (interval) batulempung berketebalan 3-10 m. Batupasir berwarna abu-abu kehijauan, mengandung glaukonit dan kadang-kadang kepingan batubara. Struktur perarian silang-siur kurang berkembang dalam lapisan batupasir ini, sebaliknya struktur perarian sejajar berkembang sangat baik. Batulempung berwarna abu-abu muda hingga kehijauan dan kaya foraminifera plangton. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut terbuka.
Formasi Airbenakat terdiri atas batupasir, batulempung, batulanau, dan perselingan antara batupasir dan batulempung atau batulanau. Secara umum kehadiran batulempung dan batulanau lebih dominan di bagian bawah dan atas, sedangkan kehadiran batupasir lebih dominan di bagian tengah. Formasi ini berketebalan mencapai 330 m, diendapkan di lingkungan laut dangkal yang dicirikan oleh kehadiran moluska yang melimpah.
Formasi Muaraenim terdiri atas batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara. Batulempung pada umumnya berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman, banyak yang bersifat lanauan, dan sering dijumpai sisa tumbuhan. Lapisan batupasir kebanyakan berwarna abu-abu, berbutir sedang hingga kasar dengan sejumlah butiran berukuran kerikil dan kerakal. Lapisan batubara dengan ketebalan hampir 2 m dijumpai sebagai sisipan di dalam batulempung. Lapisan batubara ini berwarna coklat kehitaman, berkilap kusam, dan bersifat getas dengan pecahan-pecahan yang kasar. Di bagian atas, baik lapisan batupasir maupun batulempung bersifat tufaan. Formasi Muaraenim berketebalan 120 m dan merupakan endapan fluviatil yang dapat dibedakan menjadi endapan alur dan endapan limpah banjir.
Formasi Kasai terdiri tuf berbatuapung, konglomerat, dan batupasir tufan di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama terdiri atas batulanau tufaan. Formasi Kasai berketebalan 140 meter, diendapkan di lingkungan darat yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi, dan ditindih tak selaras oleh endapan sungai Kuarter yang terdiri atas kerakal dan pasir kurang padu.
Endapan aluvial menutupi secara tidak selaras satuan-satuan stratigrafi yang lebih tua. Endapan ini terdiri atas kerakal dan pasir yang tidak padu.


Formasi Muaraenim dibagi menjadi empat anggota berdasarkan kelompok kandungan lapisan batubara oleh Shell Mijnbouw, (1978), yaitu Anggota M1, M2, M3, dan M4. Masing-masing anggota tersebut mengandung lapisan-lapisan batubara dengan karakteristik masing-masing, dimana beberapa lapisan batubara tersebut bertindak sebagai pembatas antar anggota lainnya. Umumnya, Anggota M1 mengandung dua lapisan batubara, Lapisan I (Lapisan Kladi) dan Lapisan II (Lapisan Merapi). Anggota M2 mengandung empat lapisan batubara, Lapisan III (Lapisan Petai), Lapisan IV (Lapisan Suban), Lapisan V (Lapisan Mangus 2) dan Lapisan VI (Lapisan Mangus 1). Anggota M3 terdiri dari dua lapisan, yaitu Lapisan Burung dan Lapisan Benuang. Anggota M4 terdiri dari Lapisan Kebon, Lapisan Benakat, Lapisan Lematang, dan Lapisan Niru. Beberapa lapisan batubara di masing-masing anggota sering dijumpai lapisan-lapisan batubara yang disebut sebagai lapisan gantung dengan ketebalan beberapa puluh sentimeter dan relatip tidak menerus. Keadaan ini di beberapa cekungan-cekungan kecil, baik anggota maupun lapisan-lapisan batubara pada masing-masing anggota tidak selalu dijumpai sebagaimana seharusnya, tergantung kepada kondisi geologi pada waktu pengendapannya.
Secara umum arah lapisan batubara adalah Baratlaut – Tenggara hampir searah dengan arah sebaran formasi. Sementara kemiringan lapisan batubara di bagian Baratdaya cenderung landai, rata-rata kurang dari 5o sedangkan singkapan batubara yang berada di bagian Timurlaut relatip lebih besar mencapai 40o. Tingginya kemiringan lapisan batubara ini diduga dipengaruhi oleh adanya struktur yang terdapat di daerah tersebut. Rendahnya sudut kemiringan lapisan batubara di bagian Baratdaya menjadi kendala untuk menghitung ketebalan lapisannya.
Sukardi, dkk., (1999) melakukan pengkajian batubara di daerah penyelidikan dengan melakukan pemboran di beberapa tempat. Dari hasil penyelidikannya dapat diketahui ketebalan beberapa lapisan-lapisan batubara khususnya di bagian Baratdaya – Selatan dari anggota-anggota Fm. Muaraenim berikut sebaran dan sumberdayanya. Lapisan-lapisan batubara di daerah penyelidikan menunjukkan distribusi dan ketebalan yang tidak merata dan sebagian tidak menerus atau membentuk ‘splitting’. Keadaan ini menunjukkan lingkungan pengendapan secara umum terjadi pada fase fluvial deltaic.
Proses dimana tetumbuhan berubah mulai dari gambut menjadi lignit, sampai menjadi antrasit disebut koalifikasi. Material-material organik berubah menjadi urutan-urutan kualitas/jenis batubara dimana terjadi perubahan fisik dan kimia. Perubahan ini analog dengan tingkat kematangan batubara yang dapat dijadikan untuk mengevaluasi potensi gas batubara di suatu formasi pembawa batubara. Selain itu juga menjadi indikator kematangan batubara seperti nilai kalori, kandungan air, zat terbang, vitrinit refleksi dan kandungan karbon terikat.
Selama pembentukan gambut, kandungan karbon meningkat dari 45 – 50% sampai 55 – 60% (daf); kandungan air >75%, dan sellulosa (Stach et al., 1982). Semakin tebal tanah penutup, berkurangnya ukuran-ukuran partikel dan porositas merupakan perubahan fisik batubara. Perubahan diagenesa terjadi sampai batas batubara lignit – subbituminus dimana temperatur formasi kira-kira 50o C, tergantung kepada hubungan antara waktu dan temperatur.
Di atas batubara subbituminus perubahan disebut sebagai perubahan metamorfis.
Secara teoritis semua lapisan/ endapan batubara mengandung gas, apakah sebagai gas bebas dalam ‘cleats/fissures’ atau gas yang terikat di atas permukaan batubara atau di dalam pori-pori batubara. Gas ini terperangkap di dalam batubara ketika berubahnya kandungan organik sejak dari proses terbentuknya gambut hingga koalifikasi (pematangan batubara) yaitu meningkatnya kualitas batubara. Semakin tinggi tingkat kematangan batubara kandungan gas dalam batubara semakin tinggi.
Selama proses koalifikasi batubara, molekul-molekul hidrokarbon seperti gas methan dan zat terbang lainnya seperti karbon dioksida dan air terbentuk. Umumnya fase utama terbentuknya gas methan dimulai pada batubara kualitas tinggi. Akan tetapi, gas dalam batubara sudah mulai terbentuk sejak proses terbentuknya gambut hingga menjadi batubara.
Hasil utama dalam proses koalifikasi adalah gas methan (CH4), karbon dioksida (CO2), nitrogen (N2) dan air (H2O). Gas methan yang dihasilkan selama koalifikasi ada dua jenis yaitu sebagai biogenik dan termogenik. Selama awal pembentukan batubara pada temperatur di bawah 50oC gas biogenik terbentuk oleh karena perubahan komposisi material organik oleh mikroba. Meningkatnya temperatur sampai di atas 50oC seiring dengan meningkatnya tanah penutup (overburden) atau meningkatnya ‘gradient geothermal’ dan kematangan (rank) batubara juga meningkat sekaligus mengontrol volume gas methan yang dihasilkan.
Gas methan yang tersimpan di dalam batubara terdapat sebagai molekul-molekul di atas permukaan organik, sebagai gas bebas di dalam pori atau rekahan, atau sebagai larutan di dalam air pada lapisan batubara.
Pujobroto, A., (2007) mengutip dari evaluasi yang dilakukan oleh ARI (2003), secara umum kandungan gas di dalam batubara Fm. Muaraenim Cekungan Sumatra Selatan berkisar antara 4 – 13 m3/ton batubara (sorption isotherm). Kebanyakan jenis gas batubara yang dihasilkan adalah gas biogenik, yaitu gas yang dihasilkan batubara rendah kalori. Bila dalam satu ton batubara terdapat gas sebanyak 4 m3 (nilai rendah), maka total kandungan gas dari semua lapisan batubara terdapat 1.954.246.624 m3 gas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar