Jumat, 21 Agustus 2009

CBM Sebagai Sumber Energi Alternative

CBM Sebagai Sumber Energi Alternative

Indonesia memiliki cadangan coalbed methane (CBM) yang cukup besar yaitu sekitar 350-400 triliun cubic feet (TCF) atau ketujuh di dunia. Cadangan itu tersebar di berbagai cekungan yang ada. Potensi sumberdaya yang begitu besar ini seharusnya dikembangkan menjadi salah satu sumber energi alternatif pengganti BBM.
Menurut Ketua IATMI, Kun Kurnely, karena potensi cadangannya besar, Ikatan Ahli Teknik Minyak Indonesia (IATMI) berinisiatif mempromosikan CBM sebagai sumber energi alternative. CBM adalah gas methane (CH4) yang terperangkap dalam microcope atau pori-pori batubara melalui proses biogenic.
Selama ini, CBM belum dimanfaatkan bahkan dianggap sebagai masalah yang mengganggu dan berbahaya bagi industri pertambangan batubara. Di dunia sendiri, meski CBM sudah cukup lama dikenal, namun sumberdaya gas batubara ini baru dieksploitasi dan diproduksi dalam jumlah besar oleh perusahaan-perusahaan besar di Amerika dan Australia baru pada tahun 1980-an. Sedangkan China saat ini sedang mengembangkannya.
Mengenai masalah regulasi soal CBM ini, menurut Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan perangkat regulasinya. Karena pemanfaatan- nya lebih dekat ke sektor migas, regulasi soal CBM akan menggunakan regim migas. ”Kita tengah siapkan aturan mainnya, termasuk insentif agar investor tertarik berinvestasi.”
Soal pengusahaannya, jika cadangan CBM terdapat di wilayah kontrak migas atau kontrak pertam- bangan, maka akan ditawarkan lebih dulu kepada kontraktor migas atau kontraktor pertambangan yang bersangkutan. Tetapi jika cadangannya berada di wilayah kosong, maka akan dilakukan tender.
CBM sebagai alternatif energi siap meramaikan kebutuhan sumber energi alternatif yang jumlahnya akan sangat besar di dalam negeri dan luar negeri. CBM disamping biofuel mau tidak mau, suka atau tidak suka memang harus diimplementasikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Hal ini bila melihat data yang menunjukkan makin merosotnya bahan bakar fosil. Data-data tersebut , pertama, setelah mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, produksi minyak Indonesia terus menurun, dari hampir 1.6 juta barel/hari saat ini hanya 1.2 juta barel/hari. Kedua, Pertumbuhan konsumsi energi dalam negeri yang mencapai 10% per tahun dan ketiga, kecenderungan harga minyak dunia yang terus meningkat setelah krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1998.
Sedangkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil setidaknya memiliki tiga ancaman serius, yakni: Pertama, menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui. Kedua, kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan Ketiga, polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Kadar CO2 saat ini disebut sebagai yang tertinggi selama 125,000 tahun belakangan.
Bila ilmuwan masih memperdebatkan besarnya cadangan minyak yang masih bisa dieksplorasi, efek buruk CO2 terhadap pemanasan global telah disepakati hampir oleh semua kalangan. Hal ini menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Menurut tataan stratigrafi regional (Gafoer dkk., 1994), cekungan tersebut dapat dibagi menjadi tujuh formasi, dari tua ke muda adalah Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai (Gambar 14-2 dan 14-3).
Formasi Kikim merupakan batuan alas yang berupa lava andesit berwarna abu-abu, berasal dari hasil kegiatan gunungapi, diendapkan di lingkungan darat.
Formasi Talangakar berupa batulempung dan batupasir. Lapisan batupasir lebih berkembang di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama didominasi oleh batulempung. Batulempung biasanya berwarna abu-abu sampai abu-abu tua, kadang-kadang lanauan serta mengandung fosil moluska, kepingan koral, sisa tumbuhan, dan keratan batubara. Batupasir pada umumnya berwarna abu-abu, berbutir halus hingga kasar, mengandung moluska, serpihan batubara, dan damar. Formasi ini mempunyai ketebalan sekitar 75 m, ditindih selaras oleh Formasi Baturaja, dan diendapkan di lingkungan darat hingga laut dangkal, yaitu di laguna (Nichols, 1989).
Formasi Baturaja terdiri atas batugamping dengan sisipan napal dan batulempung. Batugamping tampak berwarna abu-abu terang hingga putih keabu-abuan dan terdiri atas batugamping pejal dan batugamping berlapis. Formasi ini berketebalan mencapai 85 m dan ditindih selaras oleh Formasi Gumai. Lingkungan pengendapan batuan berhubungan dengan laut yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu, yaitu laut dangkal dengan kondisi air yang jernih dan hangat (Walker, 1992).
Formasi Gumai terdiri atas batupasir dan batulempung yang membentuk perlapisan selang-seling dengan ketebalan berkisar antara 20-80 cm, namun di beberapa tempat dijumpai selang (interval) batulempung berketebalan 3-10 m. Batupasir berwarna abu-abu kehijauan, mengandung glaukonit dan kadang-kadang kepingan batubara. Struktur perarian silang-siur kurang berkembang dalam lapisan batupasir ini, sebaliknya struktur perarian sejajar berkembang sangat baik. Batulempung berwarna abu-abu muda hingga kehijauan dan kaya foraminifera plangton. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut terbuka.
Formasi Airbenakat terdiri atas batupasir, batulempung, batulanau, dan perselingan antara batupasir dan batulempung atau batulanau. Secara umum kehadiran batulempung dan batulanau lebih dominan di bagian bawah dan atas, sedangkan kehadiran batupasir lebih dominan di bagian tengah. Formasi ini berketebalan mencapai 330 m, diendapkan di lingkungan laut dangkal yang dicirikan oleh kehadiran moluska yang melimpah.
Formasi Muaraenim terdiri atas batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara. Batulempung pada umumnya berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman, banyak yang bersifat lanauan, dan sering dijumpai sisa tumbuhan. Lapisan batupasir kebanyakan berwarna abu-abu, berbutir sedang hingga kasar dengan sejumlah butiran berukuran kerikil dan kerakal. Lapisan batubara dengan ketebalan hampir 2 m dijumpai sebagai sisipan di dalam batulempung. Lapisan batubara ini berwarna coklat kehitaman, berkilap kusam, dan bersifat getas dengan pecahan-pecahan yang kasar. Di bagian atas, baik lapisan batupasir maupun batulempung bersifat tufaan. Formasi Muaraenim berketebalan 120 m dan merupakan endapan fluviatil yang dapat dibedakan menjadi endapan alur dan endapan limpah banjir.
Formasi Kasai terdiri tuf berbatuapung, konglomerat, dan batupasir tufan di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama terdiri atas batulanau tufaan. Formasi Kasai berketebalan 140 meter, diendapkan di lingkungan darat yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi, dan ditindih tak selaras oleh endapan sungai Kuarter yang terdiri atas kerakal dan pasir kurang padu.
Endapan aluvial menutupi secara tidak selaras satuan-satuan stratigrafi yang lebih tua. Endapan ini terdiri atas kerakal dan pasir yang tidak padu.


Formasi Muaraenim dibagi menjadi empat anggota berdasarkan kelompok kandungan lapisan batubara oleh Shell Mijnbouw, (1978), yaitu Anggota M1, M2, M3, dan M4. Masing-masing anggota tersebut mengandung lapisan-lapisan batubara dengan karakteristik masing-masing, dimana beberapa lapisan batubara tersebut bertindak sebagai pembatas antar anggota lainnya. Umumnya, Anggota M1 mengandung dua lapisan batubara, Lapisan I (Lapisan Kladi) dan Lapisan II (Lapisan Merapi). Anggota M2 mengandung empat lapisan batubara, Lapisan III (Lapisan Petai), Lapisan IV (Lapisan Suban), Lapisan V (Lapisan Mangus 2) dan Lapisan VI (Lapisan Mangus 1). Anggota M3 terdiri dari dua lapisan, yaitu Lapisan Burung dan Lapisan Benuang. Anggota M4 terdiri dari Lapisan Kebon, Lapisan Benakat, Lapisan Lematang, dan Lapisan Niru. Beberapa lapisan batubara di masing-masing anggota sering dijumpai lapisan-lapisan batubara yang disebut sebagai lapisan gantung dengan ketebalan beberapa puluh sentimeter dan relatip tidak menerus. Keadaan ini di beberapa cekungan-cekungan kecil, baik anggota maupun lapisan-lapisan batubara pada masing-masing anggota tidak selalu dijumpai sebagaimana seharusnya, tergantung kepada kondisi geologi pada waktu pengendapannya.
Secara umum arah lapisan batubara adalah Baratlaut – Tenggara hampir searah dengan arah sebaran formasi. Sementara kemiringan lapisan batubara di bagian Baratdaya cenderung landai, rata-rata kurang dari 5o sedangkan singkapan batubara yang berada di bagian Timurlaut relatip lebih besar mencapai 40o. Tingginya kemiringan lapisan batubara ini diduga dipengaruhi oleh adanya struktur yang terdapat di daerah tersebut. Rendahnya sudut kemiringan lapisan batubara di bagian Baratdaya menjadi kendala untuk menghitung ketebalan lapisannya.
Sukardi, dkk., (1999) melakukan pengkajian batubara di daerah penyelidikan dengan melakukan pemboran di beberapa tempat. Dari hasil penyelidikannya dapat diketahui ketebalan beberapa lapisan-lapisan batubara khususnya di bagian Baratdaya – Selatan dari anggota-anggota Fm. Muaraenim berikut sebaran dan sumberdayanya. Lapisan-lapisan batubara di daerah penyelidikan menunjukkan distribusi dan ketebalan yang tidak merata dan sebagian tidak menerus atau membentuk ‘splitting’. Keadaan ini menunjukkan lingkungan pengendapan secara umum terjadi pada fase fluvial deltaic.
Proses dimana tetumbuhan berubah mulai dari gambut menjadi lignit, sampai menjadi antrasit disebut koalifikasi. Material-material organik berubah menjadi urutan-urutan kualitas/jenis batubara dimana terjadi perubahan fisik dan kimia. Perubahan ini analog dengan tingkat kematangan batubara yang dapat dijadikan untuk mengevaluasi potensi gas batubara di suatu formasi pembawa batubara. Selain itu juga menjadi indikator kematangan batubara seperti nilai kalori, kandungan air, zat terbang, vitrinit refleksi dan kandungan karbon terikat.
Selama pembentukan gambut, kandungan karbon meningkat dari 45 – 50% sampai 55 – 60% (daf); kandungan air >75%, dan sellulosa (Stach et al., 1982). Semakin tebal tanah penutup, berkurangnya ukuran-ukuran partikel dan porositas merupakan perubahan fisik batubara. Perubahan diagenesa terjadi sampai batas batubara lignit – subbituminus dimana temperatur formasi kira-kira 50o C, tergantung kepada hubungan antara waktu dan temperatur.
Di atas batubara subbituminus perubahan disebut sebagai perubahan metamorfis.
Secara teoritis semua lapisan/ endapan batubara mengandung gas, apakah sebagai gas bebas dalam ‘cleats/fissures’ atau gas yang terikat di atas permukaan batubara atau di dalam pori-pori batubara. Gas ini terperangkap di dalam batubara ketika berubahnya kandungan organik sejak dari proses terbentuknya gambut hingga koalifikasi (pematangan batubara) yaitu meningkatnya kualitas batubara. Semakin tinggi tingkat kematangan batubara kandungan gas dalam batubara semakin tinggi.
Selama proses koalifikasi batubara, molekul-molekul hidrokarbon seperti gas methan dan zat terbang lainnya seperti karbon dioksida dan air terbentuk. Umumnya fase utama terbentuknya gas methan dimulai pada batubara kualitas tinggi. Akan tetapi, gas dalam batubara sudah mulai terbentuk sejak proses terbentuknya gambut hingga menjadi batubara.
Hasil utama dalam proses koalifikasi adalah gas methan (CH4), karbon dioksida (CO2), nitrogen (N2) dan air (H2O). Gas methan yang dihasilkan selama koalifikasi ada dua jenis yaitu sebagai biogenik dan termogenik. Selama awal pembentukan batubara pada temperatur di bawah 50oC gas biogenik terbentuk oleh karena perubahan komposisi material organik oleh mikroba. Meningkatnya temperatur sampai di atas 50oC seiring dengan meningkatnya tanah penutup (overburden) atau meningkatnya ‘gradient geothermal’ dan kematangan (rank) batubara juga meningkat sekaligus mengontrol volume gas methan yang dihasilkan.
Gas methan yang tersimpan di dalam batubara terdapat sebagai molekul-molekul di atas permukaan organik, sebagai gas bebas di dalam pori atau rekahan, atau sebagai larutan di dalam air pada lapisan batubara.
Pujobroto, A., (2007) mengutip dari evaluasi yang dilakukan oleh ARI (2003), secara umum kandungan gas di dalam batubara Fm. Muaraenim Cekungan Sumatra Selatan berkisar antara 4 – 13 m3/ton batubara (sorption isotherm). Kebanyakan jenis gas batubara yang dihasilkan adalah gas biogenik, yaitu gas yang dihasilkan batubara rendah kalori. Bila dalam satu ton batubara terdapat gas sebanyak 4 m3 (nilai rendah), maka total kandungan gas dari semua lapisan batubara terdapat 1.954.246.624 m3 gas

Coalbed Methane

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai oleh sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam konvensional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoirnya. Sedangkan gas alam yang kita kenal saat ini, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara enambangannya dimana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan. Pengertian reservoir batubara masih baru dalam dunia perminyakan di CBM berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui beberapa proses kimia dan fisika (dalam bentuk panas dan tekanan secara menerus) yang berubah menjadi gambut dan akhirnya terbentuk batubara. Selama berlangsungnya proses pemendaman dan pematangan, material organik akan mengeluarkan air, CO2, gas metana dan gas lainnya. Selain melalui proses kimia, CBM dapat terbentuk dari aktifitas bakteri metanogenik dalam air yang terperangkap dalam batubara khususnya lignit.
CBM diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan kesetimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.
CBM mempunyai multi guna antara lain dapat dijual langsung sebagai gas alam, dijadikan energi dan sebagai bahan baku industri. Eksploitasi CBM tidak akan merubah kualitas matrik batubara dan menguntungkan para penambang batubara, karena gas emisinya telah dimanfaatkan sehingga lapisan betubara tersebut menjadi aman untuk di tambang, selain itu CBM ini termasuk salah satu sumber energi yang ramah lingkungan.
Rekomendasi Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan prioritas oleh Stevens et al. (2001) & Migas dan ADB, (2003). Penelaahan untuk menambah tingkat kepercayaan dilakukan dengan memperhatikan infrastruktur (jaringan pipa distribusi); Kedekatan pasar dan besaran cadangan harapan yang telah dihitung sebelumnya. Mengesampingkan daerah Kalimantan Timur (ranking ke 3), karena akan terkendala dengan pasar yang masih cenderung bagaimana dengan pasokan gas alam konvensional. Problemnya adalah menentukan spot yang ideal untuk uji-coba.
Sebelum dilakukan uji-coba, telah dilakukan uji kelayakan. Lapangan Rambutan dengan jumlah 26 sumur melingkupi area seluas 4400 acre dengan vertical closure sekitar 300 feet. Secara umum Cekungan Sumatera Selatan dimana Lapangan Rambutan berada terbentuk pada siklus trangresiregresi pada pembentukan sedimen tersier pada permukaan pra-Tersier (batuan beku dan metamorphic). Formasi Pelembang Bawah (ekuivalen Formasi Airbenakat) mulai terendapkan diatas Formasi Telisa (ekuivalen Formasi Gumai) sebagai sedimen delta front, karena regresi terus berlanjut hingga terbentuk lingkungan delta plain pada Formasi Palembang Tengah (ekuivalen Formasi Muaraenim).
Pada formasi ini telah diendapkan sedimen-sedimen crevase plays, marsh dan point bars. Marsh diwakili oleh lapisan batubara yang tebal, menutupi area sebelum sedimen berubah menjadi lingkungan teluk.
Bagian paling atas sedimen Neogene Tengah di daerah Rambutan diendapkan Formasi Palembang Atas dari pada lingkungan marshy dimana batubara mendominasi periode ini. Sesudah itu secara gradual lingkungan berubah dari brackish ke kondisi non-marine. Mudstone, clay dan loose, butir-butir pasir halus sampai kasar dari Miocene paling atas terendapkan.
Pemilihan lokasi uji-coba dilakukan berdasarkan penilaian terhadap aspek teknis dan non-teknis yaitu:
• Aspek Teknis meliputi hasil kajian terdahulu (Stevens et al. 2001, Migas & ADB, 2003); hasil survey pendahuluan menunjukkan lapisan batubara di Lapangan Rambutan memenuhi kriteria sebagai lapangan CBM seperti: penyebaran batubara, ketebalan lapisan dan kedalaman yang ideal; Data gas reading dari sumur-sumur di Rambutan menunjukkan rata-rata bagus (> 200 unit) dan jarak antar sumur cukup ideal untuk uji-coba.
• Aspek Non-Teknis didasarkan atas komitmen PT. MEPI untuk mendukung program pemerintah meningkatkan cadangan energi nasional; melanjutkan penelitian dan pengembangan CBM di Rambutan.
Konsentrasi kegiatan dipusatkan untuk menyelesaikan beberapa program yang tersisa seperti (a) Melanjutkan pemboran 4 sumur uji tambahan dan analisis karakteristik reservoir (2005) (b) Membangun fasilitas permukaan untuk 5sumur (2006) seperti ditunjukkan pada bagan Gambar 9; c)M e l a k u k a n perekayasaan reservoir CBM melalui proses dewatering (2006 - 2007),(d) Testing sumur dan m e n g h i t u n g cadangan terbukti di Lapangan Rambutan (2007) dan (e) Menyelenggarakan sosialisasi hasil uji-coba
(http://www.lemigas.esdm.go.id/?q=node/371)

Apakah CBM Itu?
BATUBARA merupakan salah satu sumber energi tak terbarukan yang banyak terdapat di dunia, termasuk Indonesia. Batubara memiliki lapisan-lapisan berisi gas alam dengan kandungan utamanya metana atau methane (CH4) yang disebut CBM. CBM tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar.
CBM terbentuk bersama air, nitrogen dan karbondioksida ketika material tumbuhan tertimbun dan berubah menjadi batubara karena panas dan proses kimia selama waktu geologi yang sering disebut dengan coalification.
Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada kedalaman dan kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam dari permukaan tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya, semakin tinggi nilai energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula kandungan CBM. Secara umum, lapisan batubara bisa menyimpan gas metana sebesar 6 - 7 kali lebih banyak daripada jenis batuan lain dari reservoir gas.

Gas CBM yang dilepaskan ke udara, dari penambangan batubara, merupakan gas penyerap radiasi infra merah yang kuat dan merupakan gas penyebab efek rumah kaca (Green House Gas). Gas CBM ini ikut berperan dalam menambah kekuatan radiasi infra merah, yang saat ini telah bertambah sekitar 15 persen pada atmosfer bumi.
Dengan berat yang sama, gas metana, sebagai komponen utama CBM, yaitu sekitar 95 persen, merupakan molekul yang memberikan radiasi 70 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida, tetapi efek yang ditimbulkannya relatif lebih pendek yaitu sekitar 8-12 tahun di atmosfir (sekitar 5 persen dari efek radiasi dari karbondioksida). Dengan kata lain, pengurangan emisi gas metana akan mempunyai manfaat dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Cadangan CBM, berdasarkan Data Bank Dunia, diperkirakan mencapai 453 TSCF dengan konsentrasi potensi terbesar terletak pada dua pulau yaitu Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimanan antara lain di Kalimantan Timur (Berau 8,4 TSCF , Pasir/Asem 3 TSCF, Tarakan 17,5 TSCF, dan Kutai 80,4 TSCF), Kalimantan Tengah Kabupaten Barito 101,6 TSCF, dan Sumatera Tengah 52,5 TSCF, Sumatera Selatan 183 TSCF; dan Bengkulu 3,6 TSCF, sisanya terletak di Jatibarang (Jawa Barat) 0,8 TSCF dan Sulawesi 2 TSCF.
Besarnya perkiraan cadangan CBM telah mendorong beberapa pihak terkait untuk mengembangkannya sebagai bahan bakar alternatif, melalui pemboran sumur pertama, yang dilakukan pada tahun 2005, pada kedalaman 600 meter di Lapangan Rambutan, Pendopo, Sumatera Selatan.
Pengeboran itu merupakan kelanjutan kerjasama Balitbang ESDM yang diwakili oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas (Lemigas) dengan Medco Eksplorasi dan Produksi Indonesia (MEPI). Berikutnya, tahun 2006 dilakukan pemboran 3 sumur dan pada tahun 2007 direncanakan pemboran sebanyak 5 sumur untuk mengetahui cadangan pasti CBM di Lapangan Rambutan.
Keseriusan pemerintah dalam pengembangan CBM ini terlihat dari usahanya mendorong PGN untuk bekerjasama dengan Sojitz Corporation dalam pengembangan CBM di areal pertambangan batubara Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dengan kerjasama komersialisasi antara PGN dengan Sojitz, diharapkan PGN dapat memenuhi kebutuhan gas domestik dengan CBM di Sumatera Selatan yang dialirkan melalui pipa South Sumatra-West Java (SSWJ).
Pada saat ini Indonesia belum pernah memproduksi CBM, sehingga belum bisa dipastikan berapa biaya produksinya. Sementara itu, CBM telah banyak dikembangkan, umumnya digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit listrik. Beberapa negara telah memanfaatkan CBM seperti Amerika, Rusia, China dan Australia.
Pengembangan teknologi untuk mengekstrak sumber energi ini, pertama kali dilakukan di Alabama dan Colorado Selatan pada akhir tahun 1980. Berdasarkan pengalaman yang telah mereka peroleh, banyak hal yang bisa kita pelajari dan persiapkan baik secara teknik, biaya hingga dampak yang ditimbulkan, terutama terhadap lingkungan, jika sumber energi ini akan dikembangkan lebih jauh lagi di Indonesia. (persda network/domuara damians ambarita)


Hampir semua tambang dalam batubara (tidak hanya di Cina) memiliki problem dengan gas beracun (toxic) seperti CH4, H2S, CO dll yg secara alami terbentuk dan terperangkap dalam lapisan batubara selama proses pembatubaraan. Jika sistem ventilasi dan faktor keselamatan kerja lainnya berjalan baik, tentu gas-gas beracun tadi bisa dikelola sehingga tidak menimbulkan ledakan atau keracunan yg membahayakan manusia.
Sebagai tambahan, gas CH4 (metan) yang dikeluarkan akibat penambangan batubara, baik terbuka maupun tambang dalam, berpotensi 20 kali lipat sebagai kontributor efek rumah kaca dibanding CO2 sehinga sudah sejak beberapa waktu terakhir menjadi topik yang serius. Gas metan terbebaskan ke atmosfer bukan hanya pada saat batubara ditambang, namun juga pada saat diangkut dan diproses, tentu dalam kuantitas yg berbeda-beda. Di sisi yang lain, gas metan ini sebenarnya bias dimanfaatkan/memiliki nilai ekonomis jika bisa dikelola terutama pada tambang dalam selain tentunya yang utama demi keselamatan & kesehatan kerja dimana kandungan metan menurut standar di banyak negara harus dibawah 1% per satuan volume wilayah kerja. Seperti kata Pak Yudi, bukan karena beracun, namun karena mudah meledak dan terbakar.
Di Amerika Utara dan Australia, kalau tidak salah dimotori oleh AngloCoal (AngloAmerica), pemanfaatan gas metan dari kegiatan tambang dalam, sering disebut Coal Mine Methane (CMM), sudah berlangsung sejak beberapa tahun kebelakang. Penelitiannya tidak hanya didorong oleh departemen pertambangan dan energi setempat tapi juga oleh badan pengelola lingkungan (EPA) sehingga percepatan pengembangannya cukup mengesankan. Insentif yang diberikan pemerintah biasanya cukup menarik, misalnya dengan membebaskan pajak perusahaan sebesar biaya pengembangan dan penerapan CMM secara bertahap hingga proses ini mulai memberikan keuntungan.
Jika dari hasil eksplorasi memang diketahui ada potensi gas metannya, secara garis besar ada 2 cara ekstraksi CMM pada kegiatan tambang dalam batubara. Yang pertama adl sebelum tambang (pre-mining) dimana gas metan diekstraksi melalui pemboran vertikal dr permukaan maupun horizontal pada lorong kemajuan tambang. Keduanya menghasilkan gas metan yang "bersih" dan layak untuk langsung diinjeksikan ke jaringan pipa gas setempat untuk dijual/digunakan. Batubara yang kemudian ditambang dari lapisan yg sudah diekstraksi metan-nya sama sekali tidak terpengaruh dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Cara kedua adalah stlh tambang (post-mining), yakni setelah batubara ditambang. Untuk metoda penambangan longwall, debris dari atap (roof) akan ambruk mengisi kekosongan akibat hilangnya lapisan batubara setelah penambangan dan meninggalkan area yg disebut goaf (gob). Gas metan yang terperangkap dalam goaf/gob ini kemudian diekstraksi dgn pemboran horisontal lewat lorong terdekat atau vertikal dari permukaan. Saya belum pernah melihat ekstraksi gas metan pada metoda penambangan bord and pillar namun menurut apa yang benar saya baca/dengar, mereka mengekstraksi gas ini lewat sistem ventilasi. Cara kedua ini kadang meski masih bisa mendapatkan gas metan yang "bersih" dan bisa diinjeksikan langsung ke jaringan pipa terdekat, namun seringnya sudah bercampur dengan gas lain pada goaf/gob sehingga perlu proses pemisahan lanjut.
Target CBM adalah lapisan batubara yang belum tersingkap, kalau tidak salah di kedalaman di bawah 300 meter target eksplorasi sudah bisa ditentukan. Di Sumatera selatan kemungkinan besar ada di sayap-sayap antiklin formasi muara enim yang ditutupi endapan yang lebih muda di atasnya. Yang menarik dari CBM, batubara bertindak sebagai source sekaligus reservoir seperti yang disadur oleh Pak Slamet dan Pak Yudi. Cekungan tempat pembentukan batubara Formasi Muara Enim sangat luas sehingga potensi diperkirakan sangat besar. Batubara tidak ekonomis kalau ditambang dengan Overburden lebih dari 300 meter, lagipula sangat berbahaya karena gas yang ada sering menimbulkan ledakan seperti di tambang-tambang batubara bawah tanah di China. Sebagai tambahan, Nilai kalori batubara muara enim berkisar 4000 – 5000 Kcal/kg dengan kadar kandungan air/Total Moisture yang tinggi (>40%).

CBM (Coal Bed Methane) adalah gas metana yang dihasilkan selama proses pembatubaraan dan (tetap) terperangkap dalam batubara. Gas tersebut dapat terbentuk secara biogenic maupun thermogenic (dalam eksplorasi cbm yang dicari adalah thermogenic). Ciri fisiknya gas ini: tak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, tapi ketika bercampur dengan udara bisa tiba-tiba meledak.
Dalam klasifikasi energi, cbm termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas, devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas. Salah satu tantangan dalam unconventional energy adalah ekstraksinya yang semakin.
Kuantitas cbm berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminus rank, lalu berkurang hingga anthracite. Jadi, dari low rank coal pun sudah punya cbm (umumnya kualitas batubara di negri kita adalah low rank dan ini yang bikin menarik). Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.
Pada prinsipnya, sejumlah banyak cbm tersimpan dalam coal matrix secara adsorption, yang arti mudahnya adalah 'gas menempel di dalam pori-pori coal matrix' (ada juga sih cbm sebagai free gas atau gas yang tidak menempel pada coal matrix). Cara terkandungnya cbm ini berbeda dengan cara tersimpannya conventional gas. conventional gas tersimpan secara compressed (sebenarnya sama saja dengan free gas). Jadi, lapisan batubara pada target eksplorasi cbm selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock (tidak ada migrasi seperti pada conventional gas).
Cbm bisa keluar (desorption) dari coal matrix melalui cleat (bidang rekahan) dengan merendahkan pressure (air) pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas cbm yang tersimpan dalam coal matrix terhadap pressure dinamakan Kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan pressure). Pressure tersebut direndahkan dengan cara memompa air (dewatering). Jadi, sejumlah banyak air juga akan diproduksikan dan ini menyebabkan kalau bermain di cbm memiliki environmental challenge, karena akan kemanakah sang air ditempatkan?
Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 indonesian coal basin, urutan rangkingnya: 1) Sumsel (183 Tcf), 2) Barito (101.6 Tcf), 3) Kutai (80.4 Tcf), 4) Sum-Tengah (52.5 Tcf)…. hingga yang paling bontot adalah Bengkulu (3.6 Tcf). Dengan kata lain resources cbm di sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.
Ada beberapa hal menarik lainnya:
a. Jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir cbm (coal) pada kedalaman, pressure, dan volume batuan yang sama, maka volume cbm bias mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas, atau cbm menarik secara volumetrik.
b. Akibat prinsip terkandungnya cbm adalah adsorption pada coal matrix, maka dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena cbm bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Katakan saja seperti ada gula ada semut, maka ada batubara ada cbm. kalau ada batubara di PutuSibau, Kalbar maka cbm-nya bakalan ada, hanya saja berapakah total gas in-place nya? atau pertanyaan berikutnya adalah Sang Batubara itu terletak pada depth berapa?, (total) ketebalannya berapa?, struktur geologinya bagaimana dan kualitas batubaranya gimana?